TEMPO.CO, Jakarta – Kalau saja kondisi normal, tak ada pandemi Covid-19 dan PPKM Dariurat, perayaan Idul Adha di Yogyakarta selalu meriah. Memperingati Idul Adha dilakukan dengan menggelar gunungan Grebeg Besar oleh Keraton Yogyakarta. Namun, untuk Idul Adha kali ini, tepatnya pada 20 Juli 2021 pelaksanaan tradisi Grebeg Besar ditiadakan guna mencegah penyebaran COVID-19. Lantas, apa itu sebenarnya tradisi Grebeg Besar dan bagaimana pelaksanaanya?
Sebagaimana dikutip dari Jurnal ASPIKOM edisi 2018, Grebeg Besar merupakan salah satu tradisi masyarakat Jawa guna memperingati hari besar Islam, yaitu Idul Adha. Untuk ritual Grebeg Besar di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta, terdapat penyembelihan hewan kurban di Masjid Gede yang dilaksanakan pada 10 Dzulhijjah. Bulan Dzulhijah memiliki makna sasi besar sebagaimana digambarkan dalam Kalender Jawa Islam. Hal ini lah yang kemudian menjadi penyebutan Grebeg Idul Adha sebagai Grebeg Besar.
Dalam tradisi ini, biasanya terdapat kegiatan mengarak gunungan berbentuk segitiga. Gunungan ini berisi tumpukan makanan yang terdiri atas bebagai macam, mulai dari sayuran, buah-buahan hingga hasil bumi. Olahan ketan menjadi makanan paling ikonik dan utama dalam tradisi arak-arakan ini. Ketan dianggap sebagai lambang perekat antara hubungan raja dan rakyatnya agar semakin harmonis dan erat sebagaimana sifat ketan yang lengket.
Mengutip Jurnal Sejarah Budaya, edisi 2009, apabila pelaksanaan Grebeg Besar bersamaan dengan Tahun Dal yang jatuh setiap delapan tahun sekali (satu windu), perayaan Grebeg Besar akan dilaksanakan secara istmewa, yakni berupa penambahan satu gunungan yakni Gunung Bromo atau kutuq dengan puncak yang terdapat asap dan api.
Upacara Grebeg atau yang juga dikenal dengan nama Garebeg dilaksanakan sebanyak tiga kali dalam setahun, tepatnya saat hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitru (Syawal), Idul Adha (Besar), dan Maulud Nabi.P elaksanaan Grebeg selain sebagai bentuk syukur atas kenikmatan yang diberikan oleh Sang Kuasa, juga digunakan untuk memperoleh keselamatan bersama.
Dikutip dari berbagai sumber, proses Grebeg Besar diawali dengan pawai para prajurit perang Keraton Yogyakarta atau disebut sebagai prajurit bregada yang terdiri atas sepuluh satuan. Pasukan bregada memakai seragam yang berbeda-beda kemudian keluar dari Keraton guna mengiringi gunungan untuk di arak ke beberapa titik terdekat Keraton, seperti Alun-Alun Yogyakarta, Kantor Gubernur, dan Kadipaten Pakualaman. Setelah melakukan prosesi serah terima dan doa, isi gunungan diperebutkan atau disebut dengan ngrayah oleh warga karena dipercaya isi gunungan dapat membawa berkah.
Di Yogyakarta, ritual dalam Grebeg Besar ini merupakan bentuk komunikasi ritual milik masyarakat dalam Keraton Yogyakarta, Asimilasi antara agama dan budaya yang tercermin dalam pelaksanan upacara Grebeg Besar sejatinya dibawa oleh Sultan Hamengkubowono 1. Kondisi ini tak mengherankan tradisi Grebeg Besar sangat kental dengan islam karena Keraton Yogyakarta telah menyelipkan agama Islam dalam sendi kehidupan Keraton.
NAOMY A. NUGRAHENI